Rabu

Lagu-lagu Minang, atau yang lebih dikenal sekarang dengan istilah pop Minang, ternyata sudah memiliki sejarah yang cukup panjang. Cikal-bakal pop Minang sudah muncul sejak akhir abad ke-19, demikian yang dapat dikesan dari artikel Bart Barendregt, “The sound of longing for home; Redefining a sense of community through Minang popular music” (BKI 158-3, 2002: 411-50).

Paling tidak ada dua faktor yang saling terkait sebagai pendorong munculnya pop Minang pada masa itu: 1) tumbuhnya ‘budaya urban’ di Padang akibat ‘pemodernan’ ibukota Sumatra’s Westkust itu oleh Belanda dengan dibangunnya infrastruktur modern seperti perkeretaapian dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur); 2) sosialisasi dan konsumsi media rekaman ‘modern’ pertama, yaitu phonograph atau gramophone dengan piringan hitamnya (disc [b. Inggris]; plaat [b. Belanda]) yang dalam masyarakat kita pada waktu itu dikenal dengan istilah ‘mesin bitjara’.

Namun, sejak dekade sebelumnya, seperti dicatat oleh Ch. E.P. van Kerckhoff dalam “Het Maleisch Toneel ter Weskust van Sumatra” [Sandiwara Melayu di Sumatera Barat] (TBG 31,1886:302-14), di Padang sudah terjadi proses saling mengadopsi antara bentuk-bentuk seni pribumi, seni regional (terutama yang datang dari Semenanjung Malaya dan Jawa seperti teater Bangsawan dan Komedi Stamboel), dan seni Eropa oleh para penggiat seni setempat, yang pada gilirannya memunculkan cikal-bakal seni hibrida (seperti Gamaik [‘Gamad’]) yang mengarah kepada pembentukan pop Minang.

Pengenalan dan komsumsi ‘Mesin Bitjara’.

Phonograph/gramophone pertama kali diperkenalkan di Padang tahun 1898 (Sumatra-Courant, 30/8/1898). Tak lama setelah itu media ‘modern’ ini segera menjadi tren di kalangan orang kaya Minangkabau, seperti disaksikan oleh seorang wanita petualang Amerika yang pergi ke darek pada tahun 1914. Carrie Chapman Catt, demikin nama wanita itu, cukup terkejut melihat kenyataan bahwa di rumah-rumah gadang milik orang berpunya, gramophone sudah menjadi bahan pajangan, tanda kemodernan dan kesuksesan (lihat: Harper’s Magazine 128, 1914:738-42).

Salah satu iklan rekaman lagu-lagu Minang dalam piringan hitam oleh Toko Anti Mahal, Fort de Kock (Sinar Sumarta, 1-8-1940)

Toko-toko penjual ‘mesin bicara’ pun segera bermunculan di Padang dan Bukittinggi. Mereka menjual mesin sekaligus alat-alat perlengkapannya, seperti piringan hitam dan jarumnya. Pionirnya adalah orang Eropa, kemudian diikuti oleh orang Cina dan orang Minang sendiri.

Demikianlah umpamanya, di Padang ada Toko Tuinenburg (di Alang Lawas), N.V. Warenhuis-Tokra dan Toko City Magazine (di Pondok), Toko Siauw Beng Tjoan (di Kampung Tionghowa – Pondok dan di Kampung Jawa), Toko Public, Toko Lie Sam Tjoen, dan Toko Madju (di Kampung Jawa). Di Fort de Kock (Bukittinggi) dua toko yang banyak menjual ‘mesin bitjara’ dan piringan hitam adalah Toko Anti Mahal dan Toko Minangkabau, keduanya milik orang awak (bumiputra Minangkabau).

Kehadiran tekonologi ‘mesin bitjara’ ternyata mendorong orang Eropa yang bergerak di bidang industri media ini pergi ke Asia, termasuk ke Hindia Belanda, untuk membuat rekaman lagu-lagu daerah setempat. Waktu itu proses penggandaan hasil rekaman masih harus dilakukan di Eropa. Tapi pada tahun 20-an sudah muncul beberapa pabrik penggandaan piringan hitam di beberapa negara Asia, seperti di India, Singapura, dan Jepang. Kemudian pengusaha pribumi ikut berkecimpung di bidang ini. Hal inilah yang mengawali proses transfer pengetahuan teknologi media rekam kepada masyarakat pribumi, termasuk di Indonesia.

Rekaman awal untuk tujuan komersial

Kehadiran teknologi gramophone dan piringan hitam telah mendorong perkembangan pop Minang karena munculnya budaya rekam untuk tujuan komersial. Pada dekade-dekade awal abad ke-20 beberapa rekaman lagu Minang sudah dijual dalam bentuk piringan hitam berlabel seperti ‘Angsa Minangkabau’, ‘Koedo-koedo’, ‘Polau Air’, ‘Odeon Minangkabau’, ‘Tjap Singa’, ‘Tjap Angsa’, dan ‘Tjap Kutjing’. Hal ini mulai terjadi sekitar tahun 1930-an yang menandai pula munculnya industri rekaman daerah di Sumatera Barat dan ternyata terus berlanjut sampai sekarang.

Semula iklan-iklan gramophone lebih banyak ditemukan di koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda, termasuk di Padang. Tapi kemudian, memasuki dekade pertama abad ke-20, koran-koran berbahasa Melayu di Padang semakin banyak mengiklankan ‘mesin bitjara’ dan rekaman-rekaman musik Minang dalam piringan hitam. Ini mengindikasikan bahwa konsumsi media ini makin meningkat di kalangan masyarakat pribumi.

Budaya rekaman yang awal itu berhasil mengorbitkan beberapa artis Minang. Seperti halnya artis-artis sekarang, mereka menjadi idola masyarakatnya. Nama-nama artis pionir pop Minang itu antara lain Oedin dari Kayu Putih, Rapioen dari Mandiangin, dan Si Galia dari Batu Palano.Waktu itu muncul pula satu grup gambus yang sangat terkenal di Bukittingi, yaitu Gambus ‘Boestanoel Ichsan’ dengan dua orang artisnya yang sangat populer: Hadji Moein dari Lintau dan biduanita Roekiah (tidak disebutkan nagari asalnya).

Cikal-bakal industri rekaman daerah Sumatera Barat

Pada akhir tahun 1939 Toko Anti Mahal in Fort de Kock (Bukittinggi), seperti telah disebut di atas, memproduksi sendiri rekaman lagu-lagu Minang dengan label ‘Tjap Angsa’. Harian Sinar Sumatra (22/11/1939 dan edisi-edisi berikutnya) memberitakan: “Djangan loepa mentjari plaat tjap ANGSA jang dikeloearkan speciaal oleh dan memakai nama tokoANTI MAHALFort de Kock”. Tidak seperti piringan hitam yang berlabel lain, “Plaat tjap Angsa sengaja diberi karah didalamnja soepaja tahan djatoeh dan boleh poela tahan lama”, demikian ditulis dalam iklan itu untuk menarik orang membeli piringan hitam ‘TjapAngsa’.

Sementara Toko Minangkabau, yang juga terletak di Bukittingi, tampaknya mencoba menyaingi Toko Anti Mahal. Toko Minangkabau menjadi agen terbesar piringan hitam berlabel ‘Odeon Gadjah’, seperti diberitakan dalam iklannya di Sinar Sumatra (7/7/1939).

Menurut Philip Yampolsky dalam suatu perbincangan dengan penulis pada tahun 1998, piringan hitam ‘Tjap Angsa’ (‘Cap Anso’ dalam bahasa Minang) hanya diedarkan di Sumatera saja. Sangat mungkin ini terkait dengan produser sekaligus distributornya, Toko Anti Mahal, yang berada di Bukittinggi. Dapat diperkirakan bahwa pada waktu itu produksi ‘Tjap Angsa’ ini tentulah belum bersifat masal karena penguasaan teknologi rekaman ini oleh masyarakat pribumi pada masa itu baru bersifat awal. Oleh karena itu distribusi hasil produknya juga belum dapat menjangkau tempat-tempat yang jauh.

Data-data sejarah menunjukkan bahwa sebelum kemerdekaan beberapa genre tradisional Minangkabau, seperti saluang dan kaba, juga sudah direkam dalam piringan hitam untuk tujuan komersial. Tampaknya rekaman kaba dalam piringan hitam itu diedarkan sampai ke Jawa. Salah satu distributornya di Batavia (Jakarta) adalah Toko Delima, Postbox 92, Batavia-C(entrum) (lihat: H. Agus Salim 1941: sampul belakang).

Demikianlah gambaran secara ringkas sejarah awal pertumbuhan pop Minang. Pada awal zaman kemerdekaan, perkembangan pop Minang semakin baik: kehadiran beberapa grup musik seperti Taruna Ria dan Kumbang Tjari berhasil mengangkat pamor musik Minang, yang kemudian melahirkan generasi artis Minang Elly Kasim dkk..

Pada akhir tahun 1960-an teknologi gramophone dan piringan hitam menjadi kadaluwarsa dan digantikan oleh teknologi tape recorder dan kaset. Seiring dengan itu muncul momentum baru dalam sejarah perkembangan pop Minang. Tapi ini memelukan pembicaraan tersendiri yang insya Allah akan coba saya hadirkan dalam tulisan lain.

Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Indonesiƫ, Universiteit Leiden, Belanda

Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 15 Maret 2009

VIDEO MUSIC © 2008. Design by :vio Templates S