Selasa

Fransisco Tarrega, gitaris klasik

Bulu kuduk Anda pasti merinding jika mendengar “Romance D’ Amore” ketika John Williams memainkan gitar klasiknya dengan penjiwaan yang begitu dahsyat. Virtuoso gitar klasik, yang adalah didikan Andres Segovia itu, serasa akan membawa Anda ke dunia cinta (Amore -Red) yang belum pernah Anda jelajahi, barangkali. Ya, begitulah gitar klasik. Akan beragam imajinasi yang tercipta tatkala Anda mau menyisakan waktu Anda untuk mendengarkannya.

Seorang mahasiswa seni musik Universitas HKBP Nommensen yang hingga saat ini masih serius menekuni gitar klasik pernah berkata,” Gitar klasik tak akan pernah mati dimakan usia, sebab ia punya jiwa. Musik-musik klasik yang bisa dibawakan dengan gitar klasik belum bisa dikalahkan oleh musik pop jaman sekarang,” kata Wonter Lesson Purba, lelaki yang mengaku menghabiskan waktunya sedikitnya lima jam lebih untuk berlatih gitar.

Tapi, tahukah Anda, bahwa dalam waktu yang lama gitar dianggap “tak ada apa-apanya”. Sebelum memasuki era abad ke 20, ekslusivitas gitar masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan alat musik klasik sejamannya yang dianggap lebih berhak memiliki tempat untuk sebuah konser klasik. Seperti biola, cello, flute, harva dan piano, misalnya. Posisi gitar dalam kancah konser musik klasik sebenarnya sudah dimulai oleh Fernando Sor.

Fernando Sor (1778-1839) adalah gitaris cum komponis kelahiran Barcelona, yang pertama kali tertarik pada musik setelah ayahnya mengajaknya menonton pertunjukan opera Italia. Sor adalah seorang bekas serdadu, yang dijuluki sebagai “Beethoven of the Guitar”. Salah satu masterpiece -nya adalah “Theme and Variations on Mozart’s the Magic Flute Opus 9″.

Namun, posisi gitar baru menjadi lebih penting ketika Fransisco Tarrega (1852 – 1909) mulai menciptakan gubahan-gubahan untuk gitar solo. Juga, etude-etude, yang ia ajarkan kepada beberapa muridnya, seperti Andres Segovia, Emilio Pujol, Miguel Llobet, yang kelas menjadi pelopor kebesaran gitar klasik di dunia. Dan teknik-teknik gitar klasik yang lebih inovatif. Juga, konser-konser yang fenomenal.

Terrega gitaris kelahiran Villareal, Castellon Spanyol, sebenarnya mengawali karir musiknya sebagai pianis. Guru musik pertamanya adalah Eugeni Ruiz, seorang pemain piano bermata buta. Kemudian ia belajar lagi ke Manuel Gonzalez, yang juga bermata buta. Tarrega sendiri sudah mengalami gangguan penglihatan sejak berusia balita karena kecelakaan. Ia terjatuh ke saluran irigasi di Villareal mengakibatkan gangguan penglihatan sepanjang menjalani karir musiknya.

Pada 1862, seorang komponis dari Castellan, Julian Arcas, terpukau dengan bakat musik Tarrega kecil. Julian kemudian mengajak Tarrega hijrah ke Barcelona untuk menalami pengetahuan musiknya, setelah meminta izin dari ayah Tarrega. Di kota ini, Tarrega bergabung dengan grup musik muda. Selain sekolah musik, ia menyambi bekerja di kafetaria dan restoran, sebagai pianis. Namun, karena kondisi kesehatan ayahnya yang parah saat itu, ia pun kembali Villareal.

Ia kemudian ditawari sebagai pianis di Burriana’s Casino. Namun ia tetap mempelajari gitar. Seorang pengusaha kaya, Antonio Casena, kemudian mengajak Tarrega ke Madrid untuk memperdalam pengetahuan musiknya di sekolah musik Spanish Music Conservatory. Ia membawa gitar pertamanya, buatan tangan Antonio Torres dari Sevilla, yang kemudian menjadi gitar bersejarah sepanjang hidupnya.

Meski pada saat itu, gitar masih menduduki posisi rendah untuk panggung konser bila dibandingkan dengan piano, namun Tarrega menunjukkan bahwa gitar tenyata mampu menjadi alat musik pengiring vokal dalam sebuah konser. Seorang guru musik di Spanish Music Conservatory, Emmilio Arrieta, yang melihat kemampuan gitar Tarrega lalu mengusulkannya untuk beralih dari piano dan mendalami gitar.

“Gitar memanggilmu, dan kamu memang terlahir untuk gitar,” kata Arrieta. Sejak saat itu, Tarrega meninggalkan piano dan mulai mendalami gitar dengan lebih serius. Pada 1880, Tarrega mendapat tugas baru sebagai gitaris, ketika ia menggantikan Luis de Soria di kota Novelda (Alicante).

Karirnya sebagai gitaris semakin naik. Pada 1881, Tarrega hijrah ke Prancis. Setelah penampilannya di Opera Theatre Lyion, Prancis, ia menduduki posisi terhormat sebagai gitaris. Di Paris, Odeon, ia tampil pada peringatan dua tahun kematian Pedro Calderón de la Barca. Selain itu, Tarrega juga pernah diundang untuk bermain untuk Ratu Spanyol, Isabel II. Dari sana, ia hijrah ke London. Di kota ini juga ia menikah dengan Maria Rizo.

Ada cerita kecil di balik konser Tarrega di London, pada 1882. Beberapa temannya sesama musisi melihat ada sesuatu yang kurang selama konser berlangsung. Seusai konser, temannya berujar, “Ada apa maestro? Apakah kamu sedang kehilangan sesuatu, rumahmu atau anggota keluarga mungkin, sehingga permainanmu tadi kurang bersemangat?”

Tarrega bersedih, karena konser itu telah membuat ia dan teman-temannya kecewa. Lucunya, teman-temannya mengusulkan agar Tarrega menggubah sebuah lagu dari peristiwa kecil yang ternyata menyedihkan itu. Hingga terciptalah, repertoir yang sampai saat ini masih “hidup”. Karya itu adalah “Lagrima”.

Sepulang dari London, Tarrega melanjutkan tur pertunjukannya secara rutin. Mulai dari Perpignan (Prancis), Cadiz (Spayol), Nice (Prancis), Mallorca (Spanyol), Paris, dan Valencia. Di Valencia dia bertemu dengan Conxa Martinez, yang memberikannya sebuah rumah di Sant Gervasi Barcelona, yang kelak menjadi tempat di mana ia banyak melahirkan sejumlah karya besar (masterpieces). Di kota ini juga, Tarrega berkenalan dengan beberapa komponis besar Spanyol, seperti Isaac Albéniz, Enrique Granados, Joaquín Turina dan Pablo Casals.

Salah satu karya masterpiece-nya adalah “Recuedos de la Alhamra” (Memori Alhamra) yang mengaplikasikan teknik treemolo. Repertoir ini ia gubah sepulang dari Granada. Selama di Alegria ia lalu terinspirasi untuk menciptakan “Danza Mora”. Di sini pula ia bertemu dengan seorang komposer Saint-Saens. Yang kemudian, di Sevilla, ia menggubah “Estudios”. Dan salah satu masterpiece yang tak boleh dilupakan oleh para gitaris klasik adalah “Capricho Arabe”, yang ia dedikasikan untuk sahabatnya.

Namun, sepanjang Tarrega menjadi gitaris, ia tak pernah puas dengan kualitas suara gitar yang ia mainkan. Dan pada 1902, ia pun mulai memotong pendek satu persatu kukunya, sehingga nyaris tak kelihatan dari balik kulit daging ujung jarinya. Teknik “picking” inilah yang kemudian ia terapkan kepada sejumlah muridnya.

Di usianya yang ke–50 tahun Tarrega masih sering tampil pada beberapa konser akbar, seperti di Bilbao (Spanyol), Jenewa, Milan, Firence, Naples dan Roma (Italy). Ia telah menunjukkan dirinya sebagai gitaris klasik pertama yang tampil dari konser ke konser besar di belahan dunia.

Pada 1908 Oktober, Tarrega kembali ke Castellon mengulangi nostalia musiknya. Ia kemudian konser di Novelda pada 1909, Valencia, Cullera dan Alcoi. Ia menggubah karya terakhirnya, “Oremus”, di Picanya. Ia kembali ke Barcelona ketika kondisi kesehatannya tak memungkinkan lagi untuk konser. Ia pun menetap di rumahnya di Valencia Street hingga pagi hari pada 15 Desember 1909, saat ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Ya, gitar klasik memang telah menjadi seakan tak akan pernah mati karena Tarrega. Karya-karyanya masih hidup hingga kini. Ada 78 karya original dan 120 karya transkripsinya, yang hingga kini menjadi acuan pelajaran di sekolah-sekolah musik di seluruh dunia. Sebut saja misalnya, mazurka “Adelita” yang sering menjadi rujukan untuk para gitaris pemula. Hingga, karyanya agungnya lainya, “Grand Vals”.

Selama hidup hingga akhir khayatnya, Tarrega telah menciptkan ratusan aransmen untuk solo gitar. Selain itu, ia juga banyak mentraskipsikan gubahan-gubahan musik komponis besar, seperti Ludwig van Beethoven, Frederic Chopin, dan Felex Mendelssohn.

Salah satu teknik (selain teknik “picking” treemolo), yang diperkenalkan Tarrega ke dalam permainan gitar klasik ialah penggunaan jari manis (m) tangan kanan untuk memetik senar gitar (‘picking”), di mana sebelumnya hanya menggunakan jempol (p), telunjuk (i) dan jari tengah (a).

Tangan dingin Tarrega juga telah banyak melahirkan gitaris-gitaris klasik, yang pada era berikutnya telah mengangkat ekslusivitas gitar ke panggung musik klasik. Selain Emmilio Pujol dan Miquel Llobet, salah satu muridnya – meski pernah mengundang kontroversi – yang dikenal banyak berjasa menaikkan martabat gitar klasik di kancah konser musik klasik dunia, adalah Andres Segovia (1893-1987).

Segovia adalah gitaris Spanyol yang pertama kali mentranskripsikan gubahan musik Johann Sebastian Bach, “Chaconne in D Minor”, ke dalam partitur gitar. Dan memainkannya pada pertunjukkan konser klasik. Segovia dikenal sebagai pelopor gitaris klasik modern, yang hingga akhir hidupnya mendedikasikan dirinya untuk alat musik “sederhana” namun bersahaja, bernama gitar. (The Muse; Tonggo Simangunsong; Wikipedia dan berbagai sumber).

VIDEO MUSIC © 2008. Design by :vio Templates S